Dewan Pembina LBH Cakra, Kejari Karawang Jangan Tembang Pilih -->

Kategori Berita

Dewan Pembina LBH Cakra, Kejari Karawang Jangan Tembang Pilih

Saturday 9 March 2024, March 09, 2024

 



Suara Kita News.com - Dewan pembina LBH Cakra, Dadi Mulyadi menilai Kejaksaan Negeri (Kejari) Karawang ‘Setengah Berani’ dan terkesan tebang pilih dalam memberantas tindak pidana korupsi (tipikor) dilingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Karawang dengan ditetapkan dan penahanan dua tersangka kasus korupsi proyek PJU di Dinas Perhubungan (Dishub) 

Menurut Dadi Mulyadi, Kejari Karawang mengeksekusi   kasus tipikor dengan nilai kerugian negara yang kecil atau kelas teri, sebaliknya sejumlah laporan masyarakat terkait perkara dengan nilai kerugian negara yang lebih besar, Kejari Karawang terkesan slow respon (lambat dalam menangani-red).

“Dalam hal ini saya tidak begitu banyak untuk memberikan apresiasi, karena selain dari pengungkapan yang hari ini, ada beberapa laporan perkara yang nilai proyeknya jauh lebih fantastis nilainya  dari yang sekarang di ekspose, tapi kenapa jaksa slow respon?. Contoh Laporan dugaan KKN pembangunan RSUD Rengasdengklok yang dibangun dengan menggunakan anggaran DBHCT senilai Rp 250 Miliar yang liding sektornya Dinas kesehatan, Anggaran hibah ke Polda jabar Rp 10 Miliar dari Pemkab Karawang yang tidak ada urgensinya dengan kebutuhan dasar masyarakat karawang, dugaan tindak pidana korupsi pedestrian senilai Rp 15 miliar yang hampir luput dari ingatan publik, dan Pengembangan kasus PT. LEMBAGA KEUANGAN MIKRO (LKM) yang masih tebang pilih,” ungkap Dadi.

Lebih jauh Dadi mengatakan bahwa tujuan dari pemberantasan tipikor salah satunya adalah pengembalian kerugian negara. Ia pun mengajak masyarakat meneliti dengan seksama terkait kasus dugaan korupsi pada proyek PJU Dishub Karawang, yang menurut kejari dalam konfrensi persnya negara telah dirugikan sebesar Rp 1.052.144.600 dari pagu anggaran proyek sebesar Rp 2.802.830.000.

“Masih dalam konfrensi pers tersebut Kejari Karawang hanya berhasil mengamankan uang negara sejumlah Rp.179.256.000. Dengan variable nilai ini kita bisa membaca bahwa pengamanan uang negara dengan nilai kerugian sebesar itu menurut saya negara mengalami kerugian dua kali,” jelas Dadi, Jumat (8/3/24).

Kenapa bisa seperti itu, lanjut Dadi, karena biaya untuk memproses perkara peradilan tipikor negara harus mengeluarkan anggaran kurang lebih Rp. 200 Juta, belum lagi jika penuntut membutuhkan ahli-ahli atau sarana dan prasarana lainnya untuk kepentingan pembuktian dan penuntutan maka ongkos dari sebuah peradilan tipikor dalam satu perkara saja bisa menghabiskan anggaran lebih dari Rp.250 Juta.

“Artinya bahwa tindakan ‘hero’ kejaksaan dalam membongkar perkara pengadaan PJU di Dishub Karawang dengan cara ini terkesan cawe cawe yang harusnya negara mendapatkan kembali uangnya yang hilang ini malah sebaliknya negara malah dua kali mengalami kerugian,” katanya.

Padahal hemat saya untuk model tindak pidana korupsi ‘sekelas teri’ ini kejaksaan harus menciptakan terobosan hukum baru yang biaya operasionalnya lebih hemat tapi substansi pengembalian uang negaranya maksimal.

“Contohnya seperti memberikan sangsi non job atau penurunan jabatan, jabatan dimacetkan kepada pelaku tipikor kelas teri dengan waktu disesuaikan dengan kadar kesalahannya sampai jera,” tegasnya.

Dadi pun menambahkan, jika semua penindakan anti rasuah melulu memakai metode refresif litigasi maka menurutnya dipastikan capaian hakikat dari pemberantasan tipikor tidak akan berhasil dan yang ada anggaran negara akan semakin bocor.

“Hemat saya kenapa yang tidak kakap dulu yang di bidik karena jelas berbanding lurus antara besaran kerugian dan biaya operasionalnya, jika kejaksaan mau berani ya berani sekalian jangan nanggung dan tebang pilih karena besar dan kecilnya perkara nilai tipikor, ongkos peradilannya tidak bisa ditawar murah,” tegasnya lagi. (rls)

TerPopuler